Han Ay Lie

Professor of Structural and Material Engineering at Diponegoro University

Kisah Rumah Abu Han yang Nyaris Dirobohkan

Rumah Abu Han di Jalan Karet, Surabaya. foto: surabaya.go.id

Sesuai kisah yang dibagikan oleh Nanang  Purwono, yang saat ini menjadi ketua Begandring Soerabai, cerita dimulai dengan kegiatan tim Begandring Soerabaia yang berkunjung ke Kawasan bersejarah Pecinan Surabaya pada perayaan Imlek 2023.  Tentunya dengan tujuan menelusuri sejarah peradaban Kota Surabaya, dimana salah satunya yaitu di Rumah Abu Han.

Sejak abad ke 13, Kota Surabaya dikenal sebagai kota yang multikultural dimana terdapat percampuran kebudayaan saat bangsa dan imigran Tionghoa mulai masuk ke Surabaya. Selain politik dan perdagangan, wujud kontak kebudayaan juga dibuktikan dengan adanya warga peranakan yang lahir dari pernikahan silang antara pendatang (asing) dan warga lokal.

Dari catatan Claudia Salmon dalam bukunya yang berjudul The Han Family on East Java Entrepreneurship and Politics (18th and 19th Centuries), dituliskan bahwa Han Bwee Kong (1727-1778) masuk ke Surabaya setelah bapaknya, Han Siong Kong wafat pada 1743. Di Surabaya tersebut, Han Bwee Kong menikah dengan Cen Ciguan (1730-1778) yang merupakan warga Peranakan Surabaya.

Salah satu penelusuran sejarah peradaban Pecinan di Surabaya yaitu dengan menelisik sejarah keluarga Han di rumah leluhur Marga Han yaitu Rumah Abu Han. Tentunya Rumah Abu Han ini bertempat di Jalan Karet, Surabaya.

Diceritakan bahwa saat mengunjungi Rumah Abu Han, tim Begandring Soerabaia bertemu dengan ahli waris Marga Han yaitu Robert Han dan istrinya Mega Tanuwijaya serta Hubert Han yang merupakan anak keduanya. Mereka lah yang rutin menjaga warisan leluhur dan dalam satu tahun, mereka mengunjungi Rumah Abu Han minimal 6 kali sesuai dengan momoen penting dalam tradisi dan budaya Pecinan.

Ada sebanyak tiga momen penting dalam tradisi dan budaya Pecinan yaitu Imlek, Cing Bing dan Rebutan, kemudian tiga sembahyangan kecil, yaitu sembahyang Bakcang, Tong Tju Pia, dan Ronde. Sesuai wawancara Pak Nanang , Robert Han menjelaskan bahwa sembahyangan Imlek dilakukan sekitar Januari dan Februari. Untuk Cing Bing di bulan April dan Rebutan di bulan September atau Oktober. Kemudian untuk sembahyangan Bakcang dilakukan sekitar bulan Mei setelah Cing Bing dan Tong Tju Pia setelah Rebutan. Untuk Ronde dilaksanakan di bulan Desember.

Robert Han menambahkan juga bahwa setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan China juga dilakukan sembahyangan dengan sajian-sajian khusus dimana terdapat buah-buahan dan the.

Walaupun Rumah Abu Han terlihat tidak ada aktivitas, namun tetap ada beberapa orang yang menjaga dan tinggal di rumah tersebut. Robert menjelaskan bahwa kesan tidak dihuni lebih terasa Ketika pada masa Order Lama dan Orde Baru sebagai akibat dari keputursan politik rezim yang beruasa.

Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan tradisi Tionghoa dilarang pada masa Orde Baru, sehingga Rumah Abu Han ini terlihat Mati. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, warga etnis Tionghoa mengalami perlakuan diskriminatif. Contohnya seperti keputusan yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 10 Tahun 1959 di era Orde Lama berisi tentang larangan terhadap etnis Tionghoa melakukan perdagangan di daerah pedesaan. Di jelaskan oleh Pak Nanang, bahwa peraturan tersebut dibuat agar tanpa adanya cukong yang memilki modal besar yang bisa membeli hasil pertanian, para pedagang dan petani di desa dapat berkembang.

Contoh lainnya yaitu di masa rezim Orde Baru, terdapat larangan atas segala sesuatu yang berbau Tionghoa seperti yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat. Hal tersebut dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967. Oleh karena peraturan ini, banyak kegiatan dan tradisi yang bersifat Tionghoa mati, yang salah satunya berdampak juga bagi Rumah Abu Han.

Setelah masuk kepemimpinan Abdurrahman Wachid (Gus Dur), mulai dibuka kebebasan dalam beribadah dan menjalankan praktik-praktik kebudayaan (tradisi). Hal ini termasuk tradisi Tionghoa di Surabaya. Rumah Abu Han pun telah dibuka Kembali tetapi harus tetap mengikuti aturan dalam berkunjung.

Rumah Abu Han merupakan salah satu objek kebudayaan penting untuk menelusuri sejarah Surabaya di masa lampau. Menurut informasi dari Pak Nanang, Robert Han sengaja mengajukan ke pemerintah agar Rumah Abu Han ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Hal ini karena Rumah Abu Han merupakan wujud pluralisme di Surabaya dan bisa dijadikan objek edukasi.

Diwawancara tersebut, Robert menjelaskan bahwa Rumah Abu Han menyimpan perpaduan gaya arsitektur, dimana ada gaya Jawa karena berdiri di bumi Jawa dan ada karakter kolonial karena dibangun di era Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga terdapat gaya Tionghoa karena milik warga Tionghoa.

Di jelaskan bahwa pada waktu itu, Robert mengajukan ke Tri Rismaharini (yang saat itu masih menjabat sebagai wali kota Surabaya). Untuk alasan lainnya adalah untuk mengamankan bangunan bersejarah Rumah Abu Han ini, karena bangunan ini nyaris dirobohkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab pada suatu waktu di era rezim Soeharto. Hal inilah yang menjadi alasan penetapan Rumah Abu Han sebagai bangunan cagar budaya agar adanya perlindungan hukum terhadap aset itu.

Di era rezim Orde Baru juga banyak kebijakan pemerintah yang mengebiri kebebasan warga etnis Tionghoa sehingga Rumah Abu Han menjadi seolah mati. Kemudian, ada yang menganggap bahwa rumah tersebut tidak berpemilik dan orang itu bertindak seolah pemilik dan mengiklankan untuk dijual. Setelah diiklankan di surat kabar yang tidak terkenal dan tidak banyak orang yang tahu, Rumah Abu Han malah dilimpahkan ke Balai Peninggalan Harta. Pihak Balai Peninggalan Harta pun sama, mengiklankan 3 kali ke surat kabar yang tidak terkenal dan tidak banyak diketahui orang-orang.

Dijelaskan juga, skemanya jika tidak ada yang merespon, maka orang yang mengatasnamakan pemilik bisa berbuat sesuai apa yang dia mau terhadap rumah itu dan bisa saja dibongkar untuk kepentingan dirinya. Beruntung, waktu itu Pak Robert mendapat kabar dari temannya dan kemudian membawa surat-surat rumah ke Balai Peninggalan Harta. Dikarenakan surat-surat itu terbukti kepemilikannya, maka proses yang sudah dilakukan oleh Balai Peninggalan Harta tersebut dihentikan.

Akhir cerita, dari peristiwa pengamanan asset tersebutlah yang membuat Robert mengajukan ke Pemerintahan Kota Surabaya  untuk menjadikan Rumah Abu Han sebagai cagar budaya. Pak Robet juga menjelaskan, bahwa praktik-praktik seperti itu masih bisa terjadi di era sekarang apalagi banyak bangunan di Surabaya yang terlihat nganggur.

Dari wawancara tersebut, Pak Nanang  menyimpulkan bahwa pengalaman yang dialami Pak Robert semestinya bisa menjadi pelajaran berharga bagi warga Surabaya terutama Pemerintah Kota Surabaya. Dikarenakan kota Surabaya memandang bangunan-bangunan bersejarah sebagai asset yang dapat bermanfaat untuk menunjang pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata.

referensi : https://begandring.com/kisah-rumah-abu-han-yang-nyaris-dirobohkan/

Han Ay Lie